Matahari pagi perlahan
namun pasti memperihatkan gagah dan merah sinarnya di ufuk timur, burung berkicau merdu, daun-daun
menari-nari melantunkan dzikir pada Ilahi Robbi, kabut perlahan menghilang
dengan datangnya sinar pagi, embun berjatuhan ke bumi meninggalkan dedaunan, di
dalam ruangan kamar petak berukuran 5X4 M, keluar seorang gadis kecil yang hendak pergi travellling, dia hendak pergi tour ke Bali bersama beberapa teman dan
janjian bertemu di Bandara Sepinggan
Balikpapan.
Speed bout yang saya tumpangi
perlahan tapi pasti berjalan membelah sungai Kayan, mengarungi lautan menuju Pulau Bumi Pakutaka, dimana Tarakan merupakan tempat Bandara Juwata, disanalah
saya akan diterbangkan ke Balikpapan untuk bertemu teman lainnya.
Suara pesawat terbang dengan lambang
singa berwarnah merah tampak terdengar kencang mendarat di Bandara Sepinggan, kedatangan pesawat disambut
oleh petugas lapangan dan Pilot berusaha mencari tempat yang tepat untuk
memarkir pesawat agar dapat mendarat dengan baik. Para penumpang keluar secara tertib meski sebagian
lagi tetap duduk di atas kursi pesawat karena mereka akan segera diterbangkan
menuju Bandara Sultan Hasanuddin
Makasar, dan saya sendiri termasuk penumpang yang hanya sampai Balikpapan
karena saya dan teman lainnya akan melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang
berbeda.
Sambil menikmati makan siang di salah
satu restouran Bandara Sepinggan muncul seorang sahabat yang memang sudah
janjian dengan saya, taksadar makanan sudah dari tadi telah habis dan jam sudah
menunjukan angka 4 dan 12 itu artinya kami harus segera check in untuk melanjutkan perjalanan menuju Surabaya karena Neng
Icha dan Mbak Lis menunggu kami di Bandara Juanda Surabaya untuk bersama-sama
melanjutkan perjalanan menuju Pulau
Dewata, Bali.
Balikpapan dan Surabaya berada pada
wilayah yang berbeda sehingga ketika kami berangkat dari Bandara Sepinggan jam 17.30 WITA dan sampai di Bandara Juanda jam
18.00 Waktu Indonesia Barat, ini berarti memiliki perbedaan waktu satu jam.
Banyaknya bangunan tinggi penjulang
langit dan kelap kelipnya lampu malam kota Surabya serta ramainya lampu kendaraan dijalanan memberikan suguhan
yang begitu indah yang bisa dinikmati dari atas pesawat melalui jendela
berukuran 30 X 40 Cm, dan hanya berselang
beberapa menit seorang pramugari dengan pengeras suara menyuruh semua penumpang
agar kembali ketempat duduk, memasang sabuk pengaman, meluruskan sandaran kursi
dan membuka jendela, serta menon aktifkan HP dan alat elektronik lainnya yang
bisa menggangu navigasi saat pesawat landing.
Alhamdulillah pesawat mendarat dengan selamat dan tiba-tiba
ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam dimana saat
saya dan salah seorang sahabat berkunjung ke bandara ini, namun ingatan pada
kenangan itu tiba-tiba buyar entah kemana saat Mumui teman saya menarik
tanganku untuk segera menuju pintu keluar dan kembali menuju ruang tunggu
bandara di gate 7 karena Neng Icha
dan Mbak Lis sudah menunggu kami untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju
pulau Dewata.
Ternyata para penumpang telah mengambil
posisi dan tempat duduk masing-masing di dalam kabin pesawat serta para
pramugari telah siap dengan alat-alat keselamatan selama penerbangan yang akan
mereka peragkan, saya dan ketiga teman lainnya datang dengan menyisahkan nafas
yang masih ngos-ngosan akibat kejar pesawat karena takut ketinggalan.
Saya dan Mumui duduk bersebelahan di
Kursi nomor 15D dan 15E sedang Neng Icha dan mbak Lis di kursi yang terpisah.
Sepanjang perjalanan menembus gelapnya malam di atas lautan Selat Bali, seorang Bule yang duduk di sebelah saya asyik membaca sebuah novel, mungkin
karena begitu inginnya menghabiskan novel yang dibacanya saat Pilot meredupkan
lampu pesawat untuk tack off si bule
menyalakan lampu baca yang memang disediakan di atas tempat duduk setiap
penumpang. Karena jarak Surabaya dan Bali tidak begitu jauh hingga hanya
ditempuh kurang dari satu jam.
Udara malam pulau Dewata menyambut saya dan ketiga teman lainnya, namun tidak
mengurangi rasa senang di hati karena kami telah sampai dengan selamat.
Perlahan kami berjalan menuju pintu
keluar bandara sambil memperhatikan Pulau impian banyak tourist, pulau yang
menyuguhkan beribu pesona keindahan dan keunikan. Sama tapi berbeda, itulah
kesan pertama saya. Dengan ramah seorang petugas taxi mengajak kami menuju
tempat parkir Taxi yang akan mengantar kami ke hotel tempat menginap, tapi
untuk mendapatkan Taxi itu perlu waktu lama denga antrian yang cukup panjang
untuk mendapatkan tiket taxi Bandara, dengan melewati lorong
dengan tiang-tiang
berukir di terangi sayup-sayup sinar lampu neong yang tertempel
di pelataran bandara, akhirnya kami sampai di tempat dimana Taxi
diparkir, Sejenak suasana dalam mobil sedan berwarna biru hening seakan menikmati kursi taxi
yang baru saja kami duduki, tiba-tiba pak supir memecah keheningan dengan ramah mengucapkan “welcome to Bali”
dan kami hanya tersenyum dan saya berfikir orang Bali ramah ya...? hanya berselang beberapa detik pak supirnya terdiam, dan melanjutkan obrolan dengan mengajukan pertanyaan ke kami
berempat dengan logat Bali.
“ Ini mau kemana mbak????? “
“ Ke Hotel Bakung Sari”, sahut Mumui
yang memang duduk di sebelah pak supir,
Dengan beberapa
pertanyaan yang diajukan pak supirnya, akhirnya pak supirnya memperkenalkan diri siapa tahu saat
kami hendak balik dan butuh Taxi untuk ngantar ke Bandara, maka kami tinggal
contac beliau, nama pak supirnya “ Made Antara”.
Hanya berkisar
kurang lebih tiga puluh menit kami melewati terangnya sinar lampu dan macetnya
jalan (karena malam
minggu jalanan macet, kalau normal bisa ditempuh dalam 15 Menit saja) akhirnya
mobil berhenti di sebuah hotel yang bernama Hotel Bakung Sari, ketinggian Hotel ini hanya 4 lantai. Salah satu dari
kami check in, dan kami
bertiga duduk di loby sambil menunggu selesainya check in, saat kami hendak menuju kamar yang disediakan, tiba-tiba
datang seorang office boy menyuguhi kami minuman juice jeruk, wah… ini adalah pengalaman
pertama menginap di sebuah hotel yang mana kita disuguhi minuman saat pertama check in dan
dengan cekatan kedua office boy itu
membawa ransel kami ber empat dan mengantar ke kamar 035 dan 036 di lantai dua.
Tanpa sadar saya berujar bau apa itu ya, kok ada sesuatu yang beda dengan suasana kalimantan jalan
menuju kamar kami melewati pohon dengan penerangan yang reman-remang. Office
boy membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk, sebelum pergi office boy itu mengucapkan “ selamat
istirahat”.
Karena kampung tengah bunyi tanpa
karuan karena memang belum makan malam akhirnya kami menyisir warung jalanan
dekat hotel, dekat
persimpangan jalan di seberang hotel kami mendapati warung dengan jaminan halal seratus persen, kamipun putuskan makan di warung Melati, saat hendak masuk dan
pesan makan kami disapa seorang lelaki berpostur tinggi putih dengan mata sipit yang saya yakini dia
berasal dari Negeri Rumpun Bambu, saya dan teman lainnya agak kaget
melihat kondisi warung pinggir jalan itu, dimana dipajang botol minuman bir bintang, arak,dkk, kami jadi ragu dengan logo halal pada daftar menu yang disuguhkan, namun kami tetap
menyantap makanan yang telah tersedia di atas meja karena perut sudah tidak mau kompromi
dan penjual yang lainpun pada tutup karena sudah jauh malam. Sesampai di Hotel Karena kecapean dengan
perjalanan pagi dari rumah dan kampung tengah telah aman saya dan Mumui
akhirnya langsung tertidur pulas.
Pagi buta, tak ada suara
Adzan yang biasa saya dengar di setiap subuh dekat tempat tinggal saya di
Tanjung Selor, karena saya juga lagi tidak sholat akhirnya saya melanjutkan
dengkuran sampai bangunnya kesiangan.
Perlahan saya membuka pintu hotel,
udara dingin Pulau Dewata menyambutku lembut seakan ingin menyapaku “Selamat pagi di Pulau Dewata”, dari
atas lantai dua hotel terlihat seorang wanita membawa sesajenan dan ditaruh dekat kolam renang yang entah apa maksudnya?.
Karena janjian jam 08.00 dengan Supir
yang akan mengantar kami jalan-jalan selama di Bali, akhirnya saya kembali
masuk ke kamar dan bersiap-siap.
Saat tengah sarapan di restouran, ternyata banyak juga bule yang nginap dan lagi sarapan
bersama kami, saya kagum dengan ibu-ibu pelayan di hotel itu mereka bisa berbagai bahasa karena saat ada bule datang untuk breakfast,dengan
lancarnya dia menyapa dan mengajukan beberapa pertanyaan, begitupun saat saya
lihat seorang tourist Cina, dengan lancar si ibu pelayan itu mengajukan beberapa pertanyaan pada
touris itu.
Karena pak supirnya telah menunggu di
loby hotel akhirnya kami akhiri sarapan
pagi hari ini dan menuju tempat parkir dan menaiki mobil yang akan
mengatar kami keliling Pulau Dewata.
Dalam perjalanan menuju Museum Bali
(tujuan Tour kami yang pertama) kami ngobrol-ngobrol dengan Bli Kasdi (panggilan pak Supir yang
mengantar kami), Bli adalah panggilan hormat bagi laki-laki yang lebih
tua atau sebaya dengan kita, kalau di Jawa dipanggil Mas, di Sulwesi dipanggil Kak, di sunda panggil Aa dan di Aceh dipanggil Abang.
Bli Kasdi mengantar kami ke Musem
Bali, dalam perjalanan beberapa patung besar di perempatan jalan dalam bundaran
kecil, kata Bli Kasdi itu Dewa Krisna, dan disimpang enam terdapat
patung Naga Bone.
Sesampai di Museum Bali yang terletak
di Jalan Mayor wisnu – Denpasar, terdengar suara orang yang lagi beribadah dan
mempersiapakn acaran Odalan (semacam
syukuran yang dilaksanakan selama tiga hari disetiap enam bulan) karena besok
adalah puncak dari hari perayaan Odalan
itu sendiri.
Dengan menyerahkan lima kertas uang lima
ribu ditambah Rp.
2.500,-/kamera akhirnya kami masuk dan melihat koleksi Museum Bali, dengan
antusias kami ngambil foto bergaya berdampingan dengan koleksi Museum Bali, Koleksi
Patung sangat banyak dan beragam, ada Patung
Rangda, Patung Sugrawa, patung Sahadewa, Patung Nakula, patung Ganesha.
Terdapat lukisan besar upacara Odalan yang
tengah diperingati oleh umat Hindu di Bali, lukisan
Candi Kurung/Temple Gate, Maket candi Borobudur, lukisan tarian Kecak, senjata
tradisional Bali yang terbuat dari Besi dan Baja antara lain : Tombak, Keris,
Gada dan Trisula (senjata-senjata tersebut diroduksi sampai sekarang yang
dipakai sebagai pelindung diri, perlengkapan tari-tarian dan dalam upacara
keagamaan.
Karena sudah
puas dengan suguhan koleksi Museum akhirnya kami next tour. Setelah menempuh
perjalanan kurang lebih sembilan puluh menit kami berhenti di Bukit Ubud untuk mengabadikan indahnya
fanorama padi bersusun dengan pohon kelapa serta resouran di sebelahnya, merasa puas mengambil gambar
akhirnya kami melanjutkan perjalanan menyususri jalan berliku dan menanjak
namun rindang dengan banyaknya pohon di pinggir jalan.
Karena sedang berlangsung acara Odalan menyebabkan kami hanya bisa
menaiki mobil di tempat parkir bawah, dan memaksa kami harus jalan kaki menyusuri
aspal panas nan mendaki dengan jarak sekitar enam ratus meter, saat kami mulai mengayunkan kaki
menuju Pura terbesar di Bali itu “Pura
Basukian Puseh Jagat” beberapa ojek datang menyerbu kami menawarkan
kendaraannya untuk kami tumpangi, ada yang menawarkan mulai dari dua puluh ribu
permotor, karena kami merasa kemahalan akhirnya kami memutuskan untuk jalan
kaki menyusuri jalan yang cukup mendaki, namun mereka tidak langsung menyerah
para pak ojek membuntuti kami dan menawarkan harga semakin murah, sampai harga
yang ditawarkan lima ribu rupiah saja, namun kami sudah tidak perduli karena Pura sudah kelihatan yang artinya bentar
lagi nyampai, sepanjang perjalanan menuju Pura
Basukian puse Jagat (Pura Besaki) kami menyusuri toko-toko yang tertutup
karena penjualnya mengikuti acara Odalan,
disetiap depan toko yang kami lewati semua terdapat Sesajen yang terbuat dari
daun kelapa berbentuk baku kecil berisi
bunga, rokok, kerupuk, nasi berwarna kuning.
“Selamat datang di Besaki Pura
terbesar di Bali”,
sambut seorang gadis berpostur tinggi sambil memasangkan bunga kamboja di
telinga sebelah kanan,
“karena ada acara Odalan Kalau masuk
ke Pura, harus pakai bunga kamboja, sahutnya lagi”, kami berempat senang-senang aja
dipasangin bunga kamboja, itung-itung ngerasa benar-benar di Bali gitu
lho….!!!!!! Saat kami mengayunkan kaki memasuki Pura, gadis yang memasangkan bunga kamboja meminta
uang sedekah sebagai harga dari bunga kamboja yang dipasangkannya tadi,
akhirnya mumui menyulurkan kertas duaribuan kepada gadis itu, belum juga kami beranjak dari
pintu masuk datang lagi seorang anak kecil menawarkan foto gambar Pura Besaki
dan seorang bapak-bapak memaki baju warna putih dengan sarung
setengah lutut memakai Udeng putih (penutup
kepala) menawarkan diri menjadi gaet dan menawarkan diri untuk jadi
tukang foto, namun kami hanya berlalu saja tanpa perduli.
Di depan Pura Besaki di bawah Gunung Agung kami tidak melewatkan mengambil
gambar sebagai bukti pernah ke Bali, he…Bali memang menyuguhkan keunikan Budaya
dan Adat Istiadat, banyak Tourist Domestic dan Tourist Internasional
mengambil gambar, saya melihat perbedaan
Tourist Domestik dengan Tourist Internasional dalam mengambil
gambar, kalau Tourist Domestik
mengambil gambar pasti ada objek manusianya, tapi kalau tourist Internasional objeknya hanya sesuatu yang memang unik dan
bagus menurutnya, namun jarang menjadikan people
sebagai objek foto.
Setiap patung yang berjejer disebelah tangga menuju tempat acara Odalan
(karena memang sedang berlangsung acara odalan)
di dalam pura Besaki, dipakekan kain
berwarna kuning, putih dan udeng sesuai warna kainnya, dan setipa wanita Bali yang lewat di depan kami mengenakan pakain
putih seperti kebaya (kalau orang Jawa menyebutnya) dan kain panjang seperti rok bermotif batik Bali sambil membawa
baku berisi sesajen di atas kepala, dan laki-lakinya memakai baju dan
sarung serta udeng berwarna putih.
Setiap orang yang keluar dari tempat berlangsungnya acara odalan pasti terdapat beberapa butir
beras di jidat dan leher.
Setelah
merasa puas berkeliling dan mengambil gambar akhirnya kami menuju pintu keluar
disana kami diserbu para wanita-wanita penjual bunga kamboja yang tadi saat
kami baru masuk, mereka menawarkan naik ojek dengan mereka, karena matahari mulai panas
kamipun memutuskan untuk naik ojek para wanita-wanita tangguh itu, karena kami
hanya berempat dan mereka berbanyak orang akhirnya tarik menarikpun tidak
terelakan, hingga baju rasanya mau robek (lebay
tapi begitulah kenyataannya).
Di
dalam mobil berplat DK 961 FJ kami
menyempatkan diri istirahat sambil tidur sebelum sampai di tempat wisata
berikutnya karena tour kami hari ini
masih panjang. Tiba-tiba mobil berhenti dipinggir jalan yang berbukit, dan Bli
Kasdi membangunkan kami,
“mbak ayo turun ambil foto Danau Batur dari bukit dengan ketinggian”, saya yang memang dari tadi tertidur sejak meninggalkan Pura Besaki mengucek mata dan membuka
pintu mobil, karena memang saya duduk di pintu pinggir kiri, saat membuka pintu mobil udara
luar terasa berbeda dengan udara Bali yang saya nikmati dari kemarin malam
sampai siang hari tadi di Pura Besaki,
hawanya dingin, sejuk apalagi dipinggir jalan masih rindang dengan pohon-pohon
hijau dan lebat. Saat
kami berjalan mengikuti Bli Kasdi mata kami disuguhi gagahnya Gunung Kintamani yang kelihatan hitam dipinggirnya seperti lelehan larva dan
luasnya hamparan air Danau Batur, dalam
air danau Batur airnya
membentuk warna yang berbeda menyerupai bentuk pulau-pulau dan pohon-pohon di
pinggir bukit yang bergoyang menambah keelokan danau itu. Saat kami tengah
mengambil gambar, tiba-tiba datang bus mini yang mengantar tourism mancanegara
yang berasal dari negeri Ginseng Alias orang Korea.
Tidak puas menikmati Danau Batur dari atas bukit, akhirnya
kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang terjal dan berliku, sekitar sepulu menit akhirnya
kami sampai di pinggir Danau Batur udaranya semakin dingin ditambah hembusas angin yang
semakin kencang, kami
berdiri sejajar di bawah Gunung Kintamani
dan sejajar dengan Danau Batur,dipinggir
danau terlihat tanaman strowbery, air danau di kelilingi gunung-gunung dan
terlihat dari jauh air terjun yang menambah keindahan pemandangan Danau Batur, di pinggir Danau terdapat
semacam pelabuhan yang terdapat beberapa perahu, yang ternyata perahu itu
dipakai wisatawan untuk berkunjung ke tempat dimana mayat-mayat tidak
dikuburkan dan dijadikan objek wistata, dan lokasi berada di ujung timur Danau Batur, karena kami kurang tertarik
melihat mayat-mayat tanpa dikubur akhirnya kami hanya mengambil foto disekitar Danau Batur saja, saat kami tengah
narsis foto-foto beberapa ibu-ibu datang mengahmpiri kami dan menawarkan jajanannya,
“Belli bu’ gelangnya murah ajja (dengan logat Bali) cumma seppuluh ribu..!!!!!!!”
kami tetap asyik dengan kamera kami sambil
bergaya ala foto model, seperti penjual pada umumnya, sekali menawarkan tidak
akan jerah jika kita belum beli, dan ibunya tetap berdiri diantara kami, meski
kami telah menyatakan bahwa kami tidak akan beli barang yang ditawarkannya.
Sepanjang pinggir Barat Danau Batur terdapat kursi
dan meja yang disediakan untuk para pengunjung untuk minum, ngemil atau sekedar ngobrol
sambil menikmati fanorama alam ini. Karena kami merasa puas foto-foto, kami ngobrol-ngobrol
sambil menikamti pemandangan, ibu yang jualan tadi ikut bergabung dengan kami dan memulai percakapan
“ibu ini sudah haji ya….????”
tanyanya, saya hanya tersenyum dan mengaminkan dalam hati
“belum bu” jawab salah satu dari
kami,
“kenapa semua pada pake penutup
kepala?” lanjut si ibu,
“pake jilbab, ini penutup kepala yang
kami pakai namanya jilbab bu, kalau
dalam Islam bagi wanita yang sudah baliqh wajib hukumnya menutup aurat/memkai
jilbab, kalau tidak menutup aurat akan berdosa” jawab Mumui,
“Ibu itu punya kenalan, dia pakai penutup
kepala karena sudah naik haji” sambung si ibu kembali,
“kalau dalam agama kami, kalau sudah
ke te
yang dianggap para penganut agama Hindu, jika
sudah berkunjung dan memegang Patung di tempat itu maka hitungannya sama dengan
naik haji kalau dalam agama Islam” si ibu sambung pembicaraanya,
Saya, ketiga teman yang lain dan Bli Kasdi hanya
tersenyum mendengar penjelasan si ibu. Si ibu seakan tidak mau melewatkan
kesempatan untuk bertanya tentang Rukun Islam yang ke-5 ini, si ibu meminta
kami menjelaskan seperti apa Haji itu.
karena sedari tadi Mumui yang serius menaggapi
obrolan dengan si ibu akhirnya dia menjelaskan panjang lebar mengenai apa itu
Haji dan bagaimana
pelaksanan Haji itu sendiri.
Karena Mbak Lis dan Neng Icha
sepertinya mulai bosan, merekapun meminta agar kami meminta Mumui untuk
mengakhiri obrolannya dengan Si Ibu (namun mbak Lis ngomong dalam bahasa Jawa,
tapi berhubung saya telah lama berinterkasi dengan Wong Jawa, saya sedikit
mengerti bahasa-bahasa pasaran mereka), sebelum kami pergi meninggalkan si ibu,
beliau mendo’akan kami agar kelak bisa naik Haji, saya hanya mengaAmiinkan
dalam hati, dan kami ucapkan terimakasih padanya.
Akhirnya setelah kembali melewati
jalan berliku dan menanjak kamipun sampai di tempat Wisata Tampak Siring tempat Mata air yang dipercayai sebagai air suci yang
jika mandi di Kolam air suci, dan disana kita bisa melihat keindahan Pura Tirta Empul, di Tampak Siirng kami menikmati cantiknya
Ikan Hias di dalam kolam yang super gedenya, dan saya beberapa kali
ngintip-ngintip ke dalam kolam tempat Mata Air suci itu berada, saya melihat
beberapa orang mandi di bawah air yang keluar dari patung-patung yang memang didesain
seperti air terjun yang keluar dari mulut patung, bagi orang yang ingin melebur
dalam kolam itu ada syarat yang tidak boleh dilanggar antara lain:
“ Tidak diperkenankan memakai sabun, sikat gigi, sampo dan semacamnya;
Harus memakai pakain Adat; Bagi wanita kalau melebur harus memaki baju; Tidak
boleh mencuci segala maam pakaian. Jika melanggar ketentuan maka akan dikenai
sanksi Yadnya Eko Sato dan Yadnya Manca Sato.”
Begitupun saat saya hendak masuk ke pura Tirta Empul, seorang bapak dengan
baju Putih pakai udeng putih dan
sarung setengah betis, menghampiri dan memberikan selendang sebagai syarat
untuk masuk melihat keindahan Pura Tirta
Empul, di sebelah pintu masuk terpasang kayu besar bertuliskan “Attention: Tidak diperkenankan masuk jika
tidak memakai pakain adat atu selendang, tidak boleh memakai celana pendek, dan
tidak boleh masuk bagi wanita haid”, akhirnya saya mengurungkan niat untuk
melihat langsung keindahan Pura Tirta
Empul, saya dan Mumui akhirnya menuju tangga yang tinggi, disitu kami foto-foto sebagai ajang
untuk menghilangkan rasa kekecewaan tidak bisa masuk melihat bagaimana bentuk Pura Tirta Empul.
Karena jam telah menunjukan jam 02.00
WITA, kampung tengahpun minta diisi, akhirnya kami meutuskan untuk keluar dari Tampak Siring, saat saya dan teman
hendak keluar, dekat pintu masuk tadi kami melihat beberapa orang sementara
beribadah, memuja patung yang ada di depannya, Astaghfirullahul arim, bisikku dalam hati.
Karena pintu keluar harus melewati
jalan yang panjang, disepanjang jalan, berjejer penjual pakain, baju anak-anak, daster,
gantungan kunci, oleh-oleh khas Bali, dll, setiap kami melewati satu lapak
pasti kami dipanggil-panggil untuk belanja di lapaknya, karena mbak Lis dan
Neng Icha tertarik dengan topi rajutan, akhirnya mereka menanyakan harga, harga penawarannya sangat
mahal, akhirnya terjadilah tawar menawar yang sangat sengit diantara mereka,
saya sendiri tertarik dengan baju anak-anak yang ada di lapak sebelah mbak Lis
dan Neng Icha nawar topi, saya dan ibu penjualnya saling tawar menawar, saat
saya menawar barang si ibu dan si ibu bilang iya, namun ketika barang itu mau
saya ambil si ibu penjual mengambilkan barang yang lain, sayapun jadi kesal,
dan memutuskan hanya membeli satu saja dengan harga yang lumayan mahal jika
dibandingkan dengan harga normalnya, saat mbak Lis dan Neng Icha selesai tawar
menawarnya, dan iseng-iseng mereka nanya harga topi yang sama di sebelah lapak
tempat mereka beli, ternyata lapak sebelah menawarkan harga Rp. 20.000,- lebih murah dari harga
beli topi di lapak sebelah (sungguh terlalu, kata bang Rhoma Irama).
Saya yang dari tadi ditawari ngambil
tiga baju, dan saya sudah memtuskan untuk mengmbil satu saja karena terlanjur
kesal, namun ibu penjualnya terus memaksaku untuk mengambil ketiga baju itu
sampai Mumui, mbak Lis dan neng Icha sudah pergi jauh meninggalkan diriku sendiri di lapak si
ibu, akupun beranjak dari lapaknya tapi si ibu terus-terus menarik bajuku, sampai
kupanggil mumui…..tolongbah!!!!!! (dengan wajah yang agak mengguratkan rasa kesal dan
sedikit takut), sambil
berusaha melepaskan diri dan
mengatakan bahwa teman saya telah meninggakan saya bu…, akhirnya si ibu itu
melepas tangannya (sungguh pengalaman yang luar biasa), akupun berlalu dari si
ibu dan berlalri kecil mengejar ke tiga temannku yang menungguiku di sudut
jalan sambil tertawa kecil.
Sepanjang perjalanan kami tertawa mengingat kejadian yang
baru saja kami alami, sampai satu temanku ngolokin aku, “Mumui….tolong bah……!!!!!!!” aku sendiri tersenyum
geli jika mengingat bagaimana saya diperlakukan si ibu “apa semua pembeli
dibuat seperti itu ya sama si ibu tadi, tanyaku dalam hati”.
Karena jam telah menunjukan 15.00 WITA
kampung tengah kami sudah sangat menderita, pengen diisi, akhirnya berjam-jam
kami menapaki jalan berliku saking sulitnya mendapatkan penjual makanan dengan
label 100% Halal, karena sepanjang
perjalanan yang saya temui hanya warung makan babi gulung, restoran babi, dsm.
Akhirnya kami menemukan warung asli Jawa, walau harus menunggu sampai satu jam
karena banyaknya antrian, akhirnya kamipun makan dengan lahap sekalian
teman-teman lainnya sholat. Hal yang sangat berbeda yang saya dapati sepanjang
perjalanan mulai berangkat dari Hotel sampai jam 17.00 WITA tak satupun Masjid ataupun Mushollah yang saya temui, gerejapun
hanya satu yang saya lihat itupun di Denpasar ibukota Propinsi Bali,yang tak
terhitung banyak itu Pura yang
menandakan bahwa 95% penduduk Bali
beragama Hindu.
Karena perjalanan dari tempat kami makan ke
Denpasar lumayan jauh, akhirnya kami sampai setelah adzan Maghrib, dengan
alasan Musafir dan sulitnya menemukan
Masjid akhirnya petualangan kami
lanjut ke Jalan Raya Tuban, disana kami menemukan sebuah tempat belanja Oleh-oleh khas Bali,
tepatnya di Rama Krisna, kata Bli
Kasdi Tokonya Open 24 Hour, mungkin
ini adalah pemandangan pertama bagi saya sepanjang tour saya selama ini baik
itu di Mall ataupun di toko-toko di Makassar, Bandung, Jakarta, Bekasi,
Surabaya, Yogyakarta, Tarakan, Samarinda, Balikapapan, Mamuju, Majene (toko aja
maksudnya, soalnya di Majene belum ada Mall, he..), tak pernah saya mendapati
pengunjung dipasangi stike, namun dsini kami dipasangi stiker berwarna Ijo di dalamnya terdapat
gambar seorang lelaki yang sedang memainkan seruling, dan sekeliling pinggirnya
bertulis Rama Krisna. Karena sudah
merasa belanjaan saya cukup untuk oleh-oleh akhirnya saya keluar bersama Mumui
dan di teras Market Rama Krisna disediakan teempat duduk bagi orang uang
lagi nunggu seseorang atau untuk orang yang memang ingin istirhat ataupun
sekedarmpat duduk bagi orang uang lagi nunggu seseorang atau untuk orang yang
memang ingin istirhat ataupun sekedar nongkrong. Karena mbak Lis dan Neng Icha
masih mencarikan pesanan saudaranya akhinya saya dan Mumui memuttuskan menunggu
di luar sambil nongkrong, akhirnya saya kembali disuguhi pemandangan yang luar
biasa, yang selama ini hanya bisa saya saksikan di layar TV, karena kebetulan
tempat duduk saya dan Mumui berdekatan dengan beberapa ibu-ibu yang saya
perkirakan berumun empat puluh sampai empat puluh lima tahun yang penampilannya
borju abis, mereka lagi asyik merokok
sambil ditato oleh dua pemuda (tukang tato) ada yang ditato pergelangan kakinya
ada juga di atas bahu, dipunggung. Bukan maksud mengibah aku dan Mumui saling
menatap penuh arti, dan seakan tidak sengaja dari mulut ini keluar kalimat “kasian ya ibu-ibu itu” “mungkin karena
kebanyakan uang dan g tau mau dikemanain akhirnya mereka belanjakan untuk
sesuatu yang tidak ada manfaatnya????” sambung Mumui.
Bukan hanya di sini Sra,
di Mall-mall Balikpapan juga banyak hal seperti ini, katanya banyak ibu-ibu
yang berpenampilan borju nongkrong
sambil ngorokok jama’ah sahutnya dengan nada bercanda, masa iya sih di
Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur
juga keadaannya sudah seperti ini???? Dengan nada yang kurang percaya
dengan apa yang dikatakan Mumui barusan. Maklum saya tinggal di Bulungan Kalimantan
Timur bagian Utara jadi lama ke Mall, he..
Sambil terkantuk-kantuk
dan lapar nungguin mbak Lis dan Neng Icha, mas-mas yang tadi tatoin ibu-ibu
datang nyamparin kami dan menawarkan Jasa Untuk Tatoin kami, saya dan Mumui kembali
saling berpandangan dengan tersenyum,
“ Maaf mas kami g mau
ditato”, jawabku,
“ Cuma dua puluh ribu kok
mbak, dan tatonya juga g permanent” sambungnya
“ Tapi maaf mas, kami
memang g kepengen ditato” kata Mumui dengan suara yang agak nyaring. Akhirnya
mas Tatopun berlalu meninggalkan kami.
Dinginnya angin malam
Pulau Dewata seakan meninabobokan diriku di kursi tunggu di pelataran market Rama
Krisna karena kecapean dengan tour kami dari pagi hingga malam jam 23.00 WITA.
Karena mbak lis dan neng
Icha sudah menunggu kami di pintu keluar Market Rama Krisna, kamipun
menyamparinya dan bersama-sama kami menuju Bli Kasdi yang setia menunggui kami.
Dan Kampung tengah mulai kosong dan minta diisi kembali, akhirnya kami menuju
sebuah Rumah Makan yang kata Bli Kasdi di Rumah Makan itu dijual makanan khas
Bali Ayam Bedtudtu namanya, saya dan
ketiga teman lainnya sangat semangat ingin negerasain Ayam Bedtudtu karena dari
siang kami mencari warung ayam bedtudtu, tapi tak satupun yang jual diarea
tempat wisata yang kami kunjungi seharian ini.
Sesampai di warung yang
dituju, kami kembali menelan kekcewaan untuk merasakan Nikmatnya ayam bedtudtu karena warung itu ternyata
sudah tutup, kata Bli Kasdi warungnya memang sering cepat tutup karena banyak
dikunjungi oleh para wisatawan kuliner.
Dengan mata sudah lima watt ditambah perut yang kosong, kami kembali menyusuri
jalan Raya Tuban dan Alhamdulillah kami mendapati Restoran Ayam Goreng Khas Jawa Timur, sambil menikmati makan malam
pengunjung dihibur band dan penyanyi café, dan kalau pengunjung kepengen
mempelihatkan kebolehanny dalam menyanyi atau sekedar sumbang suara bisa
langsung ke depan dan menyanyi diiringi band.
Karena sudah jauh malam,
jalananun sudah mulai sepi, sehingga mempercepat sampainya kami ke Hotel.
Karena pengen cepat istirahat Mumui segera mandi dan sholat Isha jamak Maghrib.
Meskipun mata sudah ngantuk bangat kami tetap ngobrol melepas
kerinduan kenangan masa-masa kuliah dulu, bercerita tentang hidup kami, sampai tidak sadar obrolan
sampai dimana,
akhinya kami tertidur pulas.
2 komentar:
pengalaman yang sangat indah dan berkesan. Oh ya masih terdapat beberapa typo (kesalahan pengetikan), misalnya, sebagian pake aku, sebagian pake saya, bumi pakutaka=bukannya bumi paguntaka, dll.
Ehm, aku baru tahu, kalau di Sulawesi panggilannya Kak, hehe (yang ini gak penting yak...)
Aku tunggu part berikutnya...
Everything is politicized, they do not look at cause and effect and don't know how to interpret facts. [url=http://www.ukdresshop.co.uk]Bridesmaid Dresses uk[/url]
[url=http://www.expeditionparkaca.com]canada goose online[/url] LIVESTRONG is a registered trademark of the LIVESTRONG Foundation.
Crocs exclusive croslite material makes the cushy comfort of these beach clogs possible. [url=http://www.londongenuinepandora.com]thomas sabo chains[/url] The items of mens clothing discussed usually are not the only objects it is best to consist of in your wardrobe but undoubtedly a number of the most significant ones. You be surprised how easy it is to lose your ring. Decide if you do or don't like the ruffled bohemian skirt, the flat knee-high boot, or the retro sunglasses.
But this attitude belies the hundreds of years of trends in men's shirts. [url=http://www.femmescanadagoose.com]Canada Goose Chilliwack Bomber[/url] And with them coming in, shopping for fishing online has become really easy and cheap! Goods and commodities are cheap online because suppliers purchase the goods at a discounted price and in bulk quantities.
Always take a good look at yourself in the mirror before deciding on your final look. The practices of the Academy of couture art is similar to what is told in the academy of couture art reviews, in that the institute offers great benefits in terms of allowing a student to get a degree of his or her preference, which may include an associate or bachelors in pattern making or design. The properties in our neighborhood range from 1 acre to 8. [url=http://www.promkleidde.com/]Organza Prom Kleid[/url]
Posting Komentar