Sahabat-sahabat seperjuangan di Bulungan |
Meski cap anak rantau sudah melekat beberapa tahun yang lalu, namun
buku tulisan Salim A. Fillah baru kutemukan yang mampu menambah semangat untuk
tetap kuat, tegar meski jauh dari orang-orang terkasih dan juga bertepatan
dengan pindah tugasnya sahabat kami yang selama empat, lima tahun menjadi
sahabat dalam menyelesaikan amanah-amanah Negara, serta menepati janjiku pada
seorang sahabat Lidya Putri Utami (maaf buku pinjaman dari seorang teman, tak
enak stapet, jadi Lidya Baca disini aja ya!!!!! he..)
Bismillahiroahmaniroahim
Membicarakan Mush’ab Ibn’ Umair yang berhijrah sebagai perintis
jalan ke tanah iman Madinah, saya tiba-tiba ingin menyinggung sedikit tentang
masalah merantau. Mungkin istilah hijrah terlalu mulia jika dipakai untuk
mewakili kata “Merantau”. Kata itu begitu agung. Pada Rasulullah dan para
sahabat hijrah adalah pengorbanan yang begitu megiris perasaan. Ini adalah
perjalanan yang serba mengambang. Tanpa harapan, tak jelas kesudahan. Yang
lemah dan terbiasa menderita tak tahu duka lara apa lagi yang akan mereka
terima, apatah lagi yang biasa berkecukupan. Keluarga, rumah yang nyaman,
tempat usaha yang prosfektif, semua harus ditinggalkan untuk mengejar
ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat yang menjanjikan.
Shuhaib ibn Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun usahanya
di Makkah harus meninggalkan sukses yang ia bangun dari nol itu. Ia tak membawa
apapun itu ke Madinah, (Ingat status teman, H-1 ninggalin Bulungan,
sedih senang dirasakan, setelah nehsemua dimulai lagi dari nol). Rombongan
pengejar Quraisy mencegatnya hingga iapun berkata, “Jika kalian biarkan aku
lewat, aku tak peduli lagi akan kalian apakah segala milikku. Itu semua menjadi
hak kalian!” Komentar manusiawi ata peristiwa ini tentu berbunyi, “Shuhaib
bangkrut!”. Tapi dimensi keimanan ternyata menyusun sebuah kalimat lain di
lisan RasulNya yag berbunyi, “Rabiha Shuhaib…Shuhaib beruntung, Shuhaib
beruntung!”.
Hijrah juga menyisipkan kisah keberanian tentang “Umar, yang
berangkat dengan kata pamit berupa tantangan. Ia tidak seperti orang lain yang
berangkat sembunyi-sembunyi. Setelah thawaf mengelilingi Ka’bah, ia berkata di
hadapan peuka-pemuka Quraisy, saksikanlah oleh kalian bahwa Ibnul Khathtab akan
berhijrah. Siapa yang ingin istrinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim atau
ibunya meratapi kematiannya, silahkan ia menemuiku sendiri di balik bukit
ini!”.
Dibalik ketegaran mereka, Abu Bakar dan Bilal tetap saja Shock
ketika tiba di Madinah, Demam tinggi membuat mereka merintih kesakitan. Homesickness, rindu rumah, tetap saja
menjadi penyakit yang manusiawi. Abu Bakar pun bersyair,
Kala pagi,
Setiap orang bisa berkumpul
dengan keluarga
Namun kematian lebih dekat
dari tali
Ketika keberadaan itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau pun
berdoa, “Ya Allah, buatlah kami mencintai
Madinah
ini seperti cinta kami pada Makkah atau lebih banyak lagi. Sebarkanlah
kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan timbangannya, singkirkan sakit
demamnya, dan sisakanlah air padanya”. (HR Bukhari 1/588-589)
Ya, Hijrah adalah pestasi agung generasi pertama ummat ini,.
Dalam Al Qur’an, ia disebut Allah dalam kemuliaan dengan diapit dua kata lain
yang agung; iman dan jihad. Sugguh jika membandingkan antara merantau yang kita
lakukan dengan hijrahnya para sahabat, Ridwahwanullahi
‘Allaihim Jami’I’an. Sungguh tak pantas menjajarkannya. Tetapi Insya Allah,
ada suatu hal yang senilai maknanya dalam hijrah yang senilai maknanya dalam
hijrah dan merantau. Yakni niat dan upaya kita untu meraih kebaikan dan
keberkahan yang lebih banyak.