Jumat, 07 Agustus 2015

Episode Perantau



Sahabat-sahabat seperjuangan di Bulungan

Meski cap anak rantau sudah melekat beberapa tahun yang lalu, namun buku tulisan Salim A. Fillah baru kutemukan yang mampu menambah semangat untuk tetap kuat, tegar meski jauh dari orang-orang terkasih dan juga bertepatan dengan pindah tugasnya sahabat kami yang selama empat, lima tahun menjadi sahabat dalam menyelesaikan amanah-amanah Negara, serta menepati janjiku pada seorang sahabat Lidya Putri Utami (maaf buku pinjaman dari seorang teman, tak enak stapet, jadi Lidya Baca disini aja ya!!!!! he..)
Bismillahiroahmaniroahim
Membicarakan Mush’ab Ibn’ Umair yang berhijrah sebagai perintis jalan ke tanah iman Madinah, saya tiba-tiba ingin menyinggung sedikit tentang masalah merantau. Mungkin istilah hijrah terlalu mulia jika dipakai untuk mewakili kata “Merantau”. Kata itu begitu agung. Pada Rasulullah dan para sahabat hijrah adalah pengorbanan yang begitu megiris perasaan. Ini adalah perjalanan yang serba mengambang. Tanpa harapan, tak jelas kesudahan. Yang lemah dan terbiasa menderita tak tahu duka lara apa lagi yang akan mereka terima, apatah lagi yang biasa berkecukupan. Keluarga, rumah yang nyaman, tempat usaha yang prosfektif, semua harus ditinggalkan untuk mengejar ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat yang menjanjikan.
Shuhaib ibn Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun usahanya di Makkah harus meninggalkan sukses yang ia bangun dari nol itu. Ia tak membawa apapun itu  ke Madinah, (Ingat status teman, H-1 ninggalin Bulungan, sedih senang dirasakan, setelah nehsemua dimulai lagi dari nol). Rombongan pengejar Quraisy mencegatnya hingga iapun berkata, “Jika kalian biarkan aku lewat, aku tak peduli lagi akan kalian apakah segala milikku. Itu semua menjadi hak kalian!” Komentar manusiawi ata peristiwa ini tentu berbunyi, “Shuhaib bangkrut!”. Tapi dimensi keimanan ternyata menyusun sebuah kalimat lain di lisan RasulNya yag berbunyi, “Rabiha Shuhaib…Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!”.
Hijrah juga menyisipkan kisah keberanian tentang “Umar, yang berangkat dengan kata pamit berupa tantangan. Ia tidak seperti orang lain yang berangkat sembunyi-sembunyi. Setelah thawaf mengelilingi Ka’bah, ia berkata di hadapan peuka-pemuka Quraisy, saksikanlah oleh kalian bahwa Ibnul Khathtab akan berhijrah. Siapa yang ingin istrinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim atau ibunya meratapi kematiannya, silahkan ia menemuiku sendiri di balik bukit ini!”.
Dibalik ketegaran mereka, Abu Bakar dan Bilal tetap saja Shock ketika tiba di Madinah, Demam tinggi membuat mereka merintih kesakitan. Homesickness, rindu rumah, tetap saja menjadi penyakit yang manusiawi. Abu Bakar pun bersyair,
Kala pagi,
Setiap orang bisa berkumpul dengan keluarga
Namun kematian lebih dekat dari tali
Ketika keberadaan itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau pun berdoa, “Ya Allah, buatlah kami mencintai  Madinah ini seperti cinta kami pada Makkah atau lebih banyak lagi. Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan timbangannya, singkirkan sakit demamnya, dan sisakanlah air padanya”.  (HR Bukhari 1/588-589)
Ya, Hijrah adalah pestasi agung generasi pertama ummat ini,. Dalam Al Qur’an, ia disebut Allah dalam kemuliaan dengan diapit dua kata lain yang agung; iman dan jihad. Sugguh jika membandingkan antara merantau yang kita lakukan dengan hijrahnya para sahabat, Ridwahwanullahi ‘Allaihim Jami’I’an. Sungguh tak pantas menjajarkannya. Tetapi Insya Allah, ada suatu hal yang senilai maknanya dalam hijrah yang senilai maknanya dalam hijrah dan merantau. Yakni niat dan upaya kita untu meraih kebaikan dan keberkahan yang lebih banyak.

Imam Asy Syafi’I dalam Diwan-nya pernah menggambarkan dengan indah perumpamaan yang merantau. “Sungguh”,  kata beliau, “Aku melihat air yang tergenang dan terhennti membusuk dan memercikan bau yang tak sedap. Andaikan air mengalir, air itu akan bening dan sehat.”  Dikesempatan lain beliau berkata, “Emas bagaikan lumpur sebelum didulang dan diangkat. Dan pohon cendana yang masih tertancap di tempatnya tak ubahhnya pohon-pohon untuk kayu bakar.”
Akhirnya beliau menandaskan, “Jika kau tinggalkan tempat kelahiranmu, akan kau temui derajat mulia di tempat yang baru, dan kau bagaikan emas yang sudah terangkat dari asalnya.”
Lingkungan yang baru, terkadang  lebih siap menerima kita dengan penerimaan tanpa prsangka. Karena kita tak dikenal, maka kacamata yang dipakai menilai kita adalah kacamata yang jernih. Masyarakat di lingkungan yang baru, beum memberikan ‘cap’ terhadapa kita sebagai ‘manusia macam apa’ karena meraka belum berintrkasi intens di masa lalu. Maka merantau kadang menjadi salah satu makna hijrah, yakni hijrah makniyah, perpindahan tempat. Ia melengkapi hijrah, yakni ‘hijrah-hijrah’ yang lain. Ia menggenapkan keutamaan taubat kita. Ia mengutuhkan makna pergeseran kita dari keburukan-keburukan ke arah kebaikan-kebaikan. Ia menyempurnakan makna perpindahan kita dari kondisi jahiliya ke kondisi islmiyah.
Sahabat-sahabat seperjuangan di Bulungan
Mengapa merantau bisa menggenapkan, mengutuhkan, dan menyempurnakan makna-makna itu? Karena kita akan menemukan masyarakat yang belum terpengaruh persepsi masa lalu atas diri kita. Mereka memandang kita sebagai ‘orang yang baik’, sebagai perwujudan dari taubat dan perbaikan diri itu. Mereka tidak memiliki prasangka buruk yang bisa menjadi dasar penyikapan dan perlakuan kepada kita. Justru sebalikya berada dalam keadaan hati yang bersih, prasangka yang paling bak dan penyikapan yang indah. Mereka memandang kita, seperti suami atau istri kita yang baru saja mengenal kita, pada malam pertama. Jika dan hanya jika, kita tidak mengisi hari-hari sebelumnya dengan hal-hal yang dilarag Allah.
 Lebih dari itu seringnya, masyarakat di tempat yag baru justru menempatkan atau mengharapkan kita sebagai orang yag baik. Cara pandang postitif ini membawa kepada sikap mereka kepada kita, sehingga kondusiflah bagi kita untuk melakukan perbaikan-perbaikan diri. Maka ‘doa’ dan harapan mereka melalui prasangka yang baik itu dikabulkan oleh Allah. Setidaknya, kita mula-mula kitaa menjadi ‘malu’ atas cara pandang positif ini, sehingga kita berupaya untuk mendekati apa yang dilihat oleh masyarakat pada diri kita. Dan masyarakat semakin menyambutya degan  baik. Subhanaallah, alangkah indahya.
Inilah arti penting sebuah ‘doa’, dan berbahanya seluruh prasangka. Sungguh betapa banyak kita telah berdosa dengan menyebabkan orang lain menuju dosa. Karena kita memberi capa pada seseorang, misalnya, Dia sebenarnya ingin berubah menjadi orang baik. Tapi karena kita terus menerus mempersepsi dan menyikapinya sebagai orang jahat, maka hatinya berontak berkata, “Daripada Cuma dicap jahat padahal saya tidak jahat, lebih baik jahat saja sekalian!”
Sudah terpikir akan merantau kemana? Ingat, Al Jaar Qablad Daar, pilihlah tetangga sebelum memiih rumah! 

Terakhir saya ucapkan kepada sahabat kami Ajeng Fitricha Wulandari, Risa Cahyanti selamat bekerja di tempat yang baru, semoga semakin menjadi pribadi yag lebih baik, diberi sahabat-sahabat baru yang lebih solid,  dan semoga kita semua selalu mendapat keberkahan dari Allah SWT, Aamiin!!!!!!!!!!!!!

Kutipan dari seorang penulis terkenal  Salim A. Fillah

Tidak ada komentar: