Kamis, 22 Desember 2011

Cukup Allah sebagai Saksi

“Bila ingin hidup ini tenang, tak usah hiraukan ada atau tidak ada orang yang melihat atau menilai amal-amal kita. Wakafaa billahi syahidaa. Cukup Allah yang menjadi saksi.” (QS. Annisa: 79).
Add caption
Itulah isi SMS taushiyah yang kirimkan oleh Aa Gym. Sangat menyentuh. Untuk kita yang selama ini masih terpaku pada penilaian manusia terhadap segala perbuatan yang kita lakukan. Penilaian manusia tak bisa di jadikan sebagai tolak ukur baik atau tidaknya perbuatan kita. Bisa jadi di mata orang ini kita mendapat pujian tapi di mata yang lain kita di nilai hanya mencari sensasi semata.
Cukuplah Allah menjadi barometer setiap gerak kita. Ke mana kaki hendak melangkah. Ke mana mata hendak memandang. Apa yang ingin telinga dengar.
Terlalu melelahkan bila memikirkan apa yang orang lain katakan sedangkan berbeda orang sudah tentu berbeda pendapat. Jika apa yang kita lakukan sudah sesuai syariat, maka abaikan saja penilaian orang lain. Jika memang penilaian itu mengandung sebuah nasihat kebajikan, bukalah lebar-lebar telinga dan mata hati kita. Tapi tulikan telinga kita untuk cacian dan gunjingan mereka. Bukan berarti kita harus tinggi hati jika pujian mengarah pada kita. Hanya kepada Allah, sepatutnya pujian di haturkan. Kita bisa karena Allah. Allah yang menggerakkan hati kita, meringankan langkah dalam berbuat kebaikan.
Cukup Allah menjadi saksi. Karena Allah yang Maha Tahu isi hati kita. Sedihkah atau bahagiakah.
Sebagai contoh dari beberapa berita yang saya baca. Negara Korea menjadi negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut Organization of Economic Cooperation and Developmemt, sebanyak 21 orang dari 100 ribu orang Korea melakukan bunuh diri.
Seorang Psikologi dari universitas Yonsei-korea, Hwang Sangmin, mencoba menganalisis fenomena bunuh diri ini. Menurutnya, orang Korea memiliki konsep Yan, dimana setiap orang berusaha bersikap diam dan tabah walaupun dalam keadaan marah. Terutama untuk kaum selebritis, pencitraan melalui konsep Yan amat besar dilaksanakan. Jika sudah di ambang batas, mereka cenderung putus asa dan akhirnya mengambil pilihan drastis untuk bunuh diri.
Itu karena di sana penilaian orang banyak menjadi tolak ukur yang utama. Image mereka ada di tangan orang banyak. Image mereka adalah kehendak orang banyak. Meskipun hal tersebut tak sesuai dengan hati nurani mereka. Terlebih bagi selebritas yang memiliki banyak penggemar. Mereka di tuntut menjadi seorang yang perfeksionis.
Faktor lain, karakter orang korea tergolong tertutup, sehingga para artis akan merasa malu jika ketahuan pergi ke konseling atau sedang depresi. Faktor agama juga tak kalah pentingnya. Hampir setengah warga Korea tidak memiliki agama, sehingga ketika mengalami depresi, penghargaan mereka terhadap kehidupan jadi rendah. Kepercayaan terhadap konsep reinkarnasi juga mendorong orang Korea mengakhiri hidupnya, dengan harapan kehidupan barunya akan lebih baik.
Akhirnya bunuh diri di anggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya. Untuk selebritas, segala perilakunya akan di contoh oleh penggemarnya. Fanatik yang berlebihan dalam mengidolakan seseorang, membuat masyarakat Korea akan mengikuti tiap perilaku yang di lakukan idolanya bahkan jika idolanya bunuh diri maka mereka akan mengikutinya. Para fans seolah terinspirasi, untuk mengakhiri suatu masalah adalah dengan jalan bunuh diri. Melihat permasalahan tersebut pemerintah Korea kini sedang menggalakkan adanya konseling untuk mengurangi populasi bunuh diri. Di harapkan dengan seperti itu masyarakat Korea mau membuka diri guna menceritakan masalahnya.
Bagi kita yang memiliki Allah sebagai penawar hati di kala kesedihan datang, melalui ayat-ayatnya yang berisi kabar gembira bagi orang yang sabar dan selalu menyerahkan segalanya kepada Allah maka tak patut kita berputus asa. Karena sesungguhnya hanya Allah tempat segala curahan rasa. Hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu. Hanya Allah sebaik-baik saksi dari perilaku kita.
Fenomena yang terjadi Korea bisa di ambil hikmahnya, membuka diri kepada seseorang yang di percaya untuk bertukar pikiran. Bukan berarti membuka aib atau mengabaikan Allah sebagai tempat mengadu. Tentu jika hal itu di lakukan dengan pertimbangan, bahwa kita melakukan ikhtiar dengan mencari perantara Allah untuk mencarikan jalan keluar dan tanpa berlebihan.
Semoga kita menjadi hamba yang selalu mengandalkan Allah dalam tiap gerak kita. MenjadikanNya sebagai saksi utama. KarenaNya kita berlaku bukan karena yang lainnya. Merasakan Allah selalu hadir lebih dekat dari urat nadi. Aamiin.
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (QS. Fathiir: 10)
Mencari kemuliaan dan kebahagiaan dengan harta benda dan penilaian manusia pasti tak akan pernah di dapat, hanya melelahkan batin dan semu belaka. Carilah kemuliaan di sisi Allah, di jamin bahagia, mulia yang asli dan kekal. (Aa Gym)
Allahua’lam.

Oleh: kiptiah hasan

Tidak ada komentar: